Kecemasan Sosial Dihasilkan dari Atribusi

Pendahuluan

            Kecemasan sosial sering di alami oleh kebanyakan orang, ketika individu berada dalam suatu lingkungan sosial yang baru atau berada dalam lingkungan sosial yang berbeda dengan lingkungan sosial di mana individu biasa berada. Woody dan Rodriguez dalam jurnal berjudul ‘Self-Focused Attention and Social Anxiety in Social Phobics and Normal Controls’ menyatakan bahwa jika seseorang mengamati dirinya sendiri dalam interaksi sosial dan menyadari adanya perbedaan antara current state dan tujuan, dan perbedaan ini tidak diseimbangkan maka kecemasan kemungkinan akan dialami, terutama apabila perbedaan ini dipersepsikan sebagai ancaman. (Rodriguez, 2000). Sedangkan Fiske & Taylor,  berdasarkan pendapat Higgins, menyatakan bahwa individu mempunyai tiga jenis perbedaan self, current self, yaitu self yang dipersepsikan individu pada masa kejadian. Ought self yaitu self yang dipersepsikan individu atas keinginan sosial. Dan ideal self yaitu self yang dipersepsikan individu sebagai keinginan individu menjadi dirinya dimasa akan datang. Apabila ada perbedaan antara current self dengan ought self maka individu akan mengalami kecemasan, sedangkan apabila ada perbedaan antara current self dengan ideal self, maka individu akan mengalami depresi. (Fiske & Taylor, 2008)

            Tujuan dari penulisan paper ini adalah menelaah bagaimana proses kecemasan itu muncul, dan mengapa kecemasan dialami oleh individu ketika berada lingkungan sosial. Dengan tulisan ini, diharapkan berguna bagi individu yang mengalami kecemasan sosial untuk lebih memahami proses terjadinya kecemasan sehingga bisa membantu individu untuk mengurangi kecemasan yang dialami ketika berada dalam lingkungan sosial. Mengapa pembahasan mengenai kecemasan ? Dengan mengutip pernyataan Ian R. Dowbiggin, PHD bahwa kecemasan adalah bagian dari kondisi manusia, dengan berbagai bentuk manifestasi dan dialami oleh jutaan orang di dunia. (Dowbiggin, 2009)

            Penulisan paper ini berdasarkan telaah literatur baik berupa buku maupun jurnal, dan bukan penelitian kuantitatif, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu yang diperlukan untuk penulisan paper. Dikarenakan keterbatasan ini, bahasan dalam paper ini masih memerlukan pertimbangan dan pemberian nasihat supaya paper ini menjadi lebih baik dan berguna. Meskipun bahasan mengenai kecemasan adalah merupakan bahasan psikologi klinis,  tetapi penulisan paper ini menelaah mengenai kecemasan ditinjau dari teori kognisi sosial yang menyangkut atribusi individu terhadap lingkungan sosial.

            Adapun pernyataan tesis dari penulisan paper ini adalah kecemasan sosial timbul dikarenakan proses atribusi individu terhadap lingkungan sosial ketika individu berada.

 

Tinjauan Pustaka

            Pada bagian ini dipaparkan teori-teori yang dipakai pada waktu penelitian, yang diambil dari buku literatur dan jurnal. Teori yang dibahas meliputi teori tentang penelitian yang menyangkut kecemasan, kecemasan sosial, dan atribusi.

 

Kecemasan

            Kecemasan adalah kondisi faali dengan meningkatnya kepekaan terhadap persepsi adanya ancaman, atau bahaya. Perbedaan yang jelas antara kecemasan dan  emosi takut adalah emosi takut merupakan hasil dari kecemasan yang realistis, dan respons segera terhadap resiko dan bahaya, sedangkan kecemasan merupakan generalisasi dari persepsi adanya ancaman. (Hunt, 1999). Sebagai ilustrasi dari pernyataan diatas adalah apabila individu berjalan di hutan dan tiba-tiba bertemu dengan harimau, maka emosi yang timbul adalah takut. Tetapi apabila individu yang bersangkutan pergi ke hutan, dan mempunyai kekhawatiran bahwa nantinya akan bertemu dan berhadapan dengan harimau, maka kekhawatiran ini disebut sebagai kecemasan.

            Sedangkan definisi kecemasan menurut American Psychology Association yang diadaptasi dari Encyclopedia of Psychology menyatakan bahwa kecemasan adalah emosi yang ditandai dengan perasaan tegang, pikiran kuatir dan perubahan faali seperti meningkatnya tekanan darah. Perubahan faali ini bisa berupa pusing, berkeringat, meningkatnya detak jantung, gemetaran, dan susah bernafas (American Psychological Association). Definisi ini menerangkan bahwa kecemasan merupakan proses kognisi berupa adanya pikiran kuatir dan was-was, dan disertai dengan perasaan tegang, dan timbulnya perubahan faali dari individu.

            Sedangkan Kamel Gana dan Bettina Martin menjelaskan bahwa kecemasan didefinisikan sebagai perasaan samar-samar, rasa takut yang tidak nyaman, atas bahaya dari sumber yang tidak diketahui. (Canouet, 2001) Disini dijelaskan bahwa kecemasan adalah timbulnya perasaan tidak nyaman atas rasa takut terhadap bahaya yang tidak jelas sumbernya.

            Kecemasan adalah fitur yang universal bagi keberadaan manusia. Kecemasan dikaitkan dengan berbagai proses kognitif seperti atensi terhadap ancaman, penilaian terhadap kondisi yang tidak pasti dan kurangnya kendali, penilaian pesimistis, dan keputusan menghindari resiko (Maner, 2009). Maner menambahkan bahwa kecemasan melibatkan suatu proses fungsional,  terorganisir, dan adaptif yang dirancang untuk membantu individu untuk menghadapi berulangnya ancaman psikologis, sosial dan fisik. Maner menekankan bahwa kecemasan adalah mekanisme yang adaptif untuk melindungi individu.

            Dari semua definisi diatas bisa disimpulkan pertama, kecemasan adalah bagian dari emosi manusia. Kedua, kecemasan ditandai oleh perubahan faali seperti berkeringat, detak jantung meningkat, pusing, susah bernafas. Ketiga, kecemasan merupakan mekanisme kognitif atas persepsi adanya ancaman dan bahaya.

 

Kecemasan Sosial

Individu yang menderita gangguan kecemasan ketakutan sosial dan menghindari situasi sosial karena mereka percaya bahwa dalam situasi seperti mereka berpotensi akan dievaluasi secara negatif oleh orang lain (LaFarr, 2010), dan evaluasi negatif ini adalah mempunyai kemungkinan dan kepastian akan terjadi (Ingman, 1999). Leitenberg mendefinisikan bahwa kecemasan sosial melibatkan perasaan ketakutan, kesadaran diri, dan tekanan emosional dalam situasi yang sebenarnya dapat diantisipasi atau evaluasi terhadap lingkungan sosial (Leitenberg, 1990). Safren dan Pantalone mengamati bagaimana kecemasan sosial mungkin memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup individu dari kecemasan sosial yang dialaminya (Safren & Pantalone, 2006).

Di antara gangguan mental yang yang lain, kecemasan sosial adalah ketiga yang paling sering diamati, setelah depresi berat dan ketergantungan terhadap alkohol (Kessler, Blazer, McGonagle, & al, 1994). American National Mental Health Institute memperkirakan pada tahun 2009 sekitar 15 juta Amerika menderita kecemasan sosial, meskipun hanya 30% dari mereka yang benar didiagnosis dan menerima pengobatan (LaFarr, 2010). Mengingat fakta bahwa kecemasan sosial begitu umum maka  banyak penelitian telah dilakukan dari pada gangguan panik, yang jauh kurang umum (Barlow, 2002).

Kebanyakan individu akan merasa cemas dalam situasi sosial tertentu dan untuk beberapa individu, mereka merasakan kecemasan yang berlebih. Seseorang akan merasa cemas ketika mereka harus memberikan presentasi kepada atasannya tentang sebuah proyek besar, individu yang lain merasa cemas ketika menghadiri sebuah pernikahan di mana individu berpersepsi bahwa yang hadir akan bergosip dan melakukakan penilaian terhadap keluarga akan hadir. Meskipun merasa cemas dalam situasi tertentu adalah umum, tetapi ketika kekuatiran ini menjadi lebih parah dan menyebabkan gejala-gejala kecemasan muncul di kehidupan sehari-hari maka diagnosa terhadap kecemasan sosial bisa berlaku (LaFarr, 2010).

Individu yang mengalami kecemasan kecemasan sosial yang signifikan, dan sebagai akibatnya mereka akan mencoba untuk menghindari situasi sosial yang dianggap menyebabkan kecemasan. (LaFarr, 2010) Kecemasan sosial bisa diamati dalam bentuk manifestasi yang berbeda seperti rasa malu, kecemasan kinerja, kecemasan berbicara, kecemasan kencan. Namun kecemasan sosial diakui menjadi berbeda dari rasa malu, orang yang malu dijelaskan sebagai hanya “menampilkan inhibisi ketika berhadapan dengan orang asing atau orang-orang akrab”, dan tidak menderita dari perasaan cemas atau takut dihakimi oleh orang lain, seperti orang yang menderita gangguan kecemasan (Stern-Cavalcante, 2006).

Leitenberg menegaskan bahwa “kecemasan sosial yang ada di sebuah kontinum dari yang sangat ringan, kecemasan sosial non klinis (yaitu rasa malu) sampai berat, pada tingkat fobia klinis” (Leitenberg, 1990). Indikator yang berbeda yang membantu untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan kecemasan sosial adalah sejauh mana fungsi aktifitas individu terganggu oleh kecemasan, tingkat gairah otonom atau tekanan emosi yang dialami, dan tingkat perilaku penghindaran” (Ingman, 1999)

 

Fenomenologi Kecemasan Sosial

Gejala-gejala fisiologis dari kecemasan sosial sangat luas, tetapi biasanya meliputi; jantung berdebar-debar, gemetar, dan berkeringat (Turner, Beidel, & Larkin, 1986) tetapi juga bisa dapat mencakup gangguan perut dan mati rasa (Ingman, 1999). Gejala-gejala ini dapat terjadi baik ketika seseorang berada dalam situasi sosial atau sebagai reaksi terhadap orang membayangkan atau mengantisipasi berada dalam situasi seperti itu.

Gejala perilaku yang bervariasi juga dan dalam kasus yang paling ekstrim yaitu akan menghindari situasi, atau penundaan aktifitas untuk menghindari terkena situasi, atau ketika individu dalam situasi yang mengharuskan kontak mata, gagap, gelisah, dan inhibisi sosial (Ingman, 1999)

Jenis ketiga adalah gejala gejala kognitif. Ini termasuk kesadaran diri, hanyut dalam persepsi adanya evaluasi negatif negatif, kewaspadaan yang tinggi, dan pikiran mencela diri sendiri  (Ingman, 1999). Bervariasi penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan kecemasan menunjukkan bias kognisi terhadap rangsangan negatif, hal ini tidak berbeda untuk orang dengan kecemasan sosial yang lebih mungkin untuk mengambil dan menempatkan nilai pada umpan balik negatif yang dirasakan.

Kemungkinan individu yang mengalami kecemasan sosial akan menunjukkan gejala dari semua tiga kategori tersebut diatas, meskipun ada kemungkinan bahwa beberapa orang akan menderita kecemasan sosial tetapi hanya menunjukkan gejala yang terbatas dari salah satu dari tiga kelompok.

 

Atribusi

Prinsip Dasar Atribusi

            Atribusi berkaitan dengan bagaimana individu menyimpulkan hubungan kausal dan karakteristik orang lain di lingkungan sosialnya. (Fiske & Taylor, 2008). Fritz Heider, yang dikenal sebagai pencetus teori atribusi berpendapat bahwa individu adalah psikolog naif yang berusaha untuk mencapai penguasaan lingkungan mereka dengan kemampuan mereka untuk menjelaskan dan memahami hubungan sebab dan akibat. (Martinko, 1995) Menurut Harold H Kelley, atribusi berkaitan dengan persepsi atas diri dan lingkungan. (Kelley, 1973).

            Kebanyakan penalaran kausal ini terjadi sangat cepat dan otomatis. Fiske dan Taylor menyatakan ada beberapa prinsip dasar hubungan sebab-akibat, pertama, mengutip Kassin dan Pryor, penyebab mendahului akibat. (Fiske & Taylor, 2008) Disini, Kassin dan Prior menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat merupakan proses langsung dan otomatis. Dihubungkan dengan kecemasan sosial, maka individu yang mengalaminya akan mempunyai persepsi bahwa lingkungan sosial adalah penyebab adanya kecemasan, dikarenakan kecemasan terjadi pada saat individu berada dalam lingkungan sosial. Kedua, individu melakukan persepsi bahwa penyebab beberapa faktor mempunyai temporal contiguity dengan akibat. Dikarenakan penyebab membentuk akibat secara segera, maka individu akan menghubungkan faktor penyebab dengan akibat. Bagi individu yang mengalami kecemasan sosial, faktor-faktor dalam sosial yang berakibat langsung dan segera pada kecemasan diasumsikan bahwa faktor sosial tersebut adalah penyebab kecemasan.

            Fiske juga menyatakan bahwa stimulus yang salient biasanya dipersepsikan sebagai penyebab dari suatu akibat. (Fiske & Taylor, 2008). Individu akan memberikan suatu hubungan sebab-akibat terhadap stimulus yang paling menonjol, kentara, dan menyolok dibandingkan dengan stimulus yang ambigu. Bagi individu yang mengalami kecemasan sosial, hal-hal yang terjadi dalam lingkungan sosial yang mencolok, dan menonjol akan diasumsikan sebagai penyebab dari kecemasan yang timbul dibandingkan dengan penyebab sebenarnya dari kecemasan itu sendiri. Selain itu, berdasarkan pendapat Kelley dan Michela, Fiske menyatakan bahwa individu berasumsi bahwa besarnya akibat dihasilkan oleh besarnya penyebab. Dalam hal ini semakin besar akibat yaitu semakin cemas emosi individu, maka diasumsikan bahwa adanya penyebab yang lebih besar.

            Fiske juga menyatakan bahwa prinsip dasar ini biasanya dilakukan oleh individu dewasa karena kurangnya pengetahuan dibandingkan dengan individu lain yang lebih memahami, dimana hubungan kausal dilakukan atas hal-hal yang relevan. Lebih lanjut lagi, Fiske menambahkan bahwa prinsip dasar ini akan digunakan sewaktu individu berada dalam situasi yang tidak menentu, dan kurangnya informasi. (Fiske & Taylor, 2008)

 

Teori Atribusi

            Fiske menyatakan ada beberapa teori mengenai atribusi. Yang pertama adalah teori dari Heider yaitu individu adalah psikolog naif yang berusaha berpikir dan mengerti apa yang terjadi di sekitarnya. Prinsip dasar dari teori Heider ini adalah adanya locus causality, yaitu lingkungan tempat dimana individu mencari penyebab terjadinya akibat, bisa saja locus causalitynya berada dalam individu sendiri, ataukah berada diluar individu. Yang kedua adalah adanya kemampuan individu untuk melakukan aksi. Kemampuan ini berbeda dari individu satu dan individu yang lain, sehingga hal ini menentukan kapasitas individu untuk bertindak. Hal lain yang berpengaruh adalah adanya motivasi yang didasari oleh niat dan usaha. (Fiske & Taylor, 2008)

            Dihubungan dengan kecemasan sosial, individu yang mengalami kecemasa akan melakukan atribusi terhadap lingkungan tempat dia berada ataupun terhadap dirinya sendiri. Individu juga memberikan atribusi seberapa mampu dia untuk mengatasi stimulus yang terjadi. Kedua faktor ini akan mempengaruhi kapasitas individu untuk melakukan tindakan. Faktor yang lain  yaitu adanya niat dan usaha individu untuk melakukan tindakan. Proses atribusi ini akan menyebabkan individu menggunakan usaha mental yang kuat dan melelahkan, apabila proses ini berjalan dengan lancar, maka kecemasan sosial tidak akan terjadi dalam individu tersebut.

            Teori atribusi lain yang ditawarkan oleh Fiske adalah teori dari Jones dan Davis, yang menyatakan correspondent inference theory, yaitu individu akan berusaha untuk menyimpulkan niatan dari orang lain. Beberapa tanda yang akan digunakan untuk menyimpulkan sifat dan kecenderungan  dapat mendorong adanya hubungan antara kesimpulan dan penyebab atribusi. (Fiske & Taylor, 2008). Faktor yang mempengaruhi individu menyimpulkan niatan orang lain ini adalah adanya kesadaran individu atas keinginan sosial. Suatu tingkah laku yang rendah dalam tingkatan keinginan sosial akan lebih menimbulkan atribusi dibanding dengan tingkah laku yang mempunyai tingkatan tinggi yaitu semakin mengikuti norma sosial. (Fiske & Taylor, 2008). Faktor yang lain adalah anggapan bahwa tingkah laku individu merupakan bagian dari peran sosial dan apakah tingkah laku memenuhi harapan dari lingkungan sosial dia berada.

            Kesadaran atas ketiga faktor diatas, menyebabkan individu melakukan atribusi terhadap lingkungan sosial. Kecemasan sosial akan dialami apabila individu menyadari bahwa tingkah lakunya tidak sesuai dengan keinginan sosial, berbeda dengan norma sosial yang berlaku, tidak memenuhi harapan atas peran yang diharapkan oleh lingkungan sosial individu berada. Dalam hal ini terjadi secara bias karena individu yang mengalami kecemasan sosial memaksakan persepsinya terhadap disposisi orang lain dan juga mengabaikan informasi yang relevan (Fiske & Taylor, 2008).

            Sedangkan Kelley memberikan perhatian pada kondisi-kondisi dimana individu mencari validasi terhadap atribusi. Pengetahuan tentang lingkungan sosialnya seringkali ambigu dan susah dipahami. Fiske mengutip pendapat Thibaut dan Kelley bahwa meskipun individu biasa mempunyai informasi yang cukup untuk berfungsi secara efektif di level sosial, dalam kondisi tertentu, informasi ini tidak memadai. (Fiske & Taylor, 2008). Teori Kelley ini menyangkut tiga model, pertama adalah covariation model, yaitu apabila informasi yang kurang memadai, maka individu akan memberikan atribusi berdasarkan tiga dimensi. Kekhasan adalah apabila impresi terjadi ketika individu berada di lingkungan sosial tertentu atau bertemu dengan orang tertentu, atau individu tidak berada dalam lingkungan tersebut atau tidak bertemu dengan orang tersebut. Adanya konsistensi dari waktu ke waktu, yaitu apakah impresi terjadi setiap kali dan dengan cara yang sama ketika individu berada. Dan konsensus, yaitu impresi timbul diakibatkan oleh lingkungan berbeda dan orang yang berbeda tetapi dengan cara yang sama.

            Dalam hal kecemasan sosial, individu yang mengalami akan memberikan atribusi berdasarkan informasi yang dipelajari oleh individu, dimana informasi ini sebenarnya tidak memadai untuk diberikan atribusi. Dengan menyadari keterbatasan akan  informasi yang dimiliki oleh individu, seharusnya atribusi tidak perlu untuk dilakukan.

            Model yang ditawarkan oleh Kelley yang lain adalah model kejadian dibandingkan dengan tindakan. Disini dijelaskan bahwa kejadian bisa berupa internal maupun eksternal dari individu terhadap tindakan dari individu yang selalu adalah bersifat internal (Fiske & Taylor, 2008). Kecemasan sosial mungkin saja timbul dikarenakan faktor sosial yang berada eksternal dari individu maupun faktor internal individu itu sendiri, tetapi tindakan timbulnya kecemasan sosial tersebut merupakan faktor internal individu. Individu mempunyai kebebasan memilih apakah tindakan perlu dilakukan atau tidak memunculkan kecemasan.

            Model terakhir dari Kelley yaitu skema penyebab, Fiske menyebutkan bahwa model ini mempunyai multiple necessary schema, dimana ditandai oleh kebutuhan adanya beberapa penyebab yang memberikan kontribusi sehingga pengaruh ditimbulkan. Dan adanya multiple sufficient causal schema, yaitu ditandai oleh keadaan dimana tingkah laku terjadi karena beberapa penyebab yang muncul (Fiske & Taylor, 2008).

 

Proses yang Mendasari Atribusi

            Ada beberapa proses yang mendasari individu melakukan atribusi terhadap orang dan lingkungan sosialnya. Dalam hal ini, saya hanya membahas mengenai model dari Gilbert, yang menyatakan bahwa proses atribusi terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap categorization, dimana individu secara otomatis memberikan kategori terhadap rangsangan yang ada di lingkungan sosialnya. Tahapan kedua adalah characterization dimana kualitas disposisi diberikan atribusi sehingga menjadi sebuah tindakan. Dan yang terakhir adalah tahapan pembetulan, dimana situasi dan stimulus lainnya mungkin digunakan untuk mengurangi atau menambah proses atribusi. Dua tahapan terakhir ini disebutkan sebagai suatu proses dalam kendali individu. Gilbert menyatakan bahwa adanya asumsi bahwa kapasitas perhatian individu adalah terbatas, dan mudah sekali kewalahan. Beban kognitif untuk memusatkan perhatian ini, yang dimungkinkan adanya kinerja yang simultan atas beberapa tugas atau perhatian berpindah dari stimulus satu ke stimulus yang lain, menghilangkan proses interferensi kepada sumber-sumber yang perlu diperhatikan. Meskipun beban kognitif diperkirakan mempunyai pengaruh minimal terhadap proses otomatis, tetapi seharusnya bisa melakukan campur tangan dengan proses kendali dan kemampuan individu untuk memperbaiki disposisi karakter terhadap situasi yang dihadapi (Fiske & Taylor, 2008).

 

Kesimpulan

            Dari penjelasan di atas, baik dari daftar pustaka maupun dari penjelasannya, menunjukkan bahwa kecemasan sosial merupakan hasil dari proses atribusi yang belum selesai dan kurang memadai, yang dilakukan individu terhadap stimulus atau lingkungan sosialnya.

 

Daftar Pustaka

American Psychological Association. (n.d.). Retrieved 11 5, 2011, from American Psychological Association: http://www.apa.org/topics/anxiety/index.aspx

Barlow, D. H. (2002). Anxiety and its disorders: The nature and treatment of anxiety and panic. New York: Guilford Press.

Canouet, K. G.-D. (2001). Worry and Anxiety: Is there a causal relationship? Psycopathology , 221-229.

Dowbiggin, I. R. (2009). High Anxiety : the Social Construction of Anxiety Disorder. The Canadian Journal of Psychiatry , 429-436.

Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (2008). Social Cognition, From Brain to Culture. New York: McGraw-Hill Higher Education.

Hunt, A. (1999). Anxiety and Social Explanation : Some Anxieties about Anxiety. Journal of Social History , 509-528.

Ingman, A. K. (1999). An Examination of Social Anxiety, Social Skills, Social Adjustment, and Self Construal in Chinese and American Students at an American University.

Kelley, H. H. (1973). The processes of causal attribution. American Psychologist , 107-128.

Kessler, R., Blazer, D., McGonagle, K. A., & al, e. (1994). The Prevalence and Distribution of Major Depression in a National Community Sample: the National Comorbidity Survey. American Journal of Psychiatry , 979 -986.

LaFarr, M. (2010). A Quantitative Study of Gay Identity Development and Social Anxiety. Massachusetts school of professional psychology .

Leitenberg, H. (1990). Handbook of social and evaluating anxiety. New York: Plenum.

Maner, J. K. (2009). Social & Personality Psychology Compass. Retrieved 11 5, 2011, from Social & Personality Psychology Compass: http://www.history-compass.co.uk/subject/socialpsychology/article_view?article_id=spco_articles_bpl211

Martinko, M. J. (1995). Blackwell Reference. Retrieved 11 6, 2011, from Blackwell Reference: http://www.blackwellreference.com/public/tocnode?id=g9780631233176_chunk_g97806312353615_ss1-17

Rodriguez, S. R. (2000). Self Focused Attention and Social Anxiety in Social Phobics and Normal controls. Cognitive Therapy and Research , 473-488.

Safren, S., & Pantalone, D. (2006). Social Anxiety and Barriers to Resilience among Lesbian, Gay, and Bisexual Adolescents. American Psychological Association , 55-71.

Stern-Cavalcante, W. (2006). Self-Concept and Social Anxiety in Late Childhood and Early Adolescence Stages of Development. The Sciences and Engineering , 5734.

Turner, S. M., Beidel, D. C., & Larkin, K. T. (1986). Situational Determinants of Social Anxiety in Clinic and Non-clinic Samples: Psychological and Cognitive Correlates. Journal of Consulting and Clinical Psychology , 523-527.

Villier, D. P. (2009). Perfectionism and Social Anxiety Among College Students. North Eastern university .

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment